Wednesday, July 30, 2008

Rumus Layanan Birokrasi

Kata teman saya, layanan birokrasi di Indonesia tergantung dua ‘pa atau dalam bahasa Jawa, ‘ten. Yaitu, tergantung Siapa dan Berapa alias Sinten dan Pinten.

Ingin urusan cepat selesai dan lancar serta tak ada berkas-berkas tercecer, ya tergantung sampeyan ngasih berapa. Kalau sampeyan termasuk sosok terpandang, tidak usah pakai Berapa maka urusan pun lancar. Cuman, bahasa Berapa lebih gampang dipahami daripada Siapa. Karena misalnya, tidak semua birokrat kecamatan mengenal sampeyan yang ternyata dekan PTN nomor wahid di Indonesia.

Kalau sampeyan kebetulan PNS, silakan tersinggung lho. Maki-maki saya juga nggak pa-pa. Memang, tersenyum kecut merupakan hal minimal yang saya harapkan. Tapi kalau dah terburu jengkel karena saya dinilai menyinggung integritas korps, ya ndak papa. Malah makin membuktikan kalau birokrasi memang dependen dengan dua ‘pa tersebut. Koq bisa?

Suatu malam, teman saya ngobrol via handphone dengan pacarnya (perempuan). Sang pacar seorang PNS sebuah departemen dan ditempatkan di satu kabupaten di Jawa. Setelah haha hihi, teman saya mengenalkan saya dengan pacarnya tersebut. Setelah ngobrol sebentar, saya bercanda bahwa layanan birokrasi di Indonesia tergantung dua ‘pa. Sang pacar penasaran dan bertanya, apaan tuh dua ‘pa. Saya jawab sambil terkekeh: Siapa dan Berapa. Di ujung sana hanya keluar suara, ‘O gitu ya.’ Sepertinya dia tersenyum dan tiada masalah, handphone kembali berpindah tangan.

Saya salah kira rupanya.

Dua malam berikutnya, saya mendengar kabar dari kawan yang lain. Sang pacar ternyata tersinggung berat dengan omongan saya kemarin silam dan ngomel-omel ke pacarnya. Salah satu omelan adalah menanyakan siapa dan apa pekerjaan saya. Mendengar kabar itu saya hanya tersenyum kecut.

Saya membayangkan jika sang pacar itu tahu bahwa sebenarnya guyonan tersebut saya dapatkan dari seorang karib yang mengajar di lembaga pendidikan lingkup Depdagri Pusat dan siswa-siswanya adalah para birokrat semacam lurah, camat, sekda dan bupati/walikota. Karib saya kulakan guyonan itu juga dari atasannya di Depdagri. Sekali lagi, jika sang pacar tahu bahwa guyonan itu berasal dari lingkungan birokrasi pusat: apakah ia akan tetap tersinggung dan ngomel-omel. Sebaliknya saya malah membayangkan, sang pacar tertawa terbahak-bahak ketika, misalnya mengikuti workshop dan si pemateri menggulirkan candaan seperti itu. Dalam humor pun, ternyata birokrasi tergantung pada ‘Siapa’ yang melawak: orang Kita atau bukan. *

No comments:

Post a Comment