Thursday, September 25, 2008

Kalong Tanjung Duren


Yupiieee... kalo Batman bin kalong van kelelawar meluncur dari sarang begitu petang berganti pekat, kelelawar Tanjung Duren ini baru ninggalin markas selepas tengah malam pergantian tanggal.

Ketika lampu-lampu jalan hanya menerangi aspal basah, laju Espass kami pun sendirian menguasai lebar ruas jalan. Di tengah mata yang menyipit saking terlalu intim dengan MS word, Mozilla Firefox dan YM serta Message PopUp, kami melaju dari kantor di belakang Taman Anggrek mengarah ke Bekasi Barat. Sebenarnya, ini perjalanan biasa setiap hari Rabu dan Kamis, hari deadline tabloid Gaul. Kami berenam, penghuni ruang redaksi lantai 4, udah jadi prosedurnya diantar ampe rumah masing-masing. Tapi, malam itu kami punya rencana lain...Sahur di McD 24 jam di Pangkalan Jati, 01.33--02.37 wib. Yihaaa...

Wednesday, September 24, 2008

Xtravagansa!!!


Silaturahmi Mantan Aktivis Mahasiswa dan Aktivis Pers Mahasiswa se-UGM, di Rg. Granada -Univ. Paramadina, Jakarta, Senin 22 September 2008

Pantengin tampang-tampang sumringah lainnya yang sempat terekam Nikon-nya Mardian dan Canon PowerShot tercinta, di http://www.flickr.com/photos/inung_gunarba/ atau http://inungitong.multiply.com/photos/album/2/

Tuesday, September 23, 2008

Ketika 'Kort' Datang


Ketika tiap bulan kamu disodori majalah musik ini yang di halaman tengahnya terselip lirik lagu dengan kunci-kunci kort gitar bahkan kadang not balok.... Apa yang melintas di kepala?

Di sini bisa mantengin lirik dan kort Stairway to Heaven-nya Led Zeppelin, Smell like Teen Spirit kilikan Nirvana, hingga Betapa-nya SO7 dan koleksi Andra cs: Hitamku dan Musnah.

Edisi bulan puasa ini, kortnya Opick, Hadad Alwi, dan lagu-lagu religi Gigi bersanding dengan Green Day serta Foo Fighter. Juga ngikutin bincang-bincang sama Ian Antono, Donny Fatah atau Fedi 'Kotak' Nuril.

Hmm, seperti pagi tadi ketika jeng Titi sang sekretaris redaksi membagikan edisi terbaru majalah ini yang masih satu grup dengan media kami. Segera angan saya melambung, memelototi poster musisi yang menjadi bonus majalah dan kemudian membayangkan menyandang sebuah gitar bolong. Bukan untuk memainkannya, memang. Lebih tepat, belajar memetiknya. Jreeenggg....

Monday, September 22, 2008

Telepon dari Pasar Minggu



"Hallo Nung, aku Hendra," repet seseorang dengan dialek Batak di speaker Motorola-ku, pagi menjelang siang ini. "Masihkah di majalah sawit itu?" lanjutnya sebelum aku bertanya siapa 'Hendra'. Rupanya dia, tepatnya Pak Hendra, kenalanku di JCC pas liputan Sampoerna Agro Expo, April silam.

“Gini Nung, aku sekarang mengelola majalah bulanan perkebunan. Kita butuh teman-teman redaksi buat bikin ramai nih,” katanya sambil menyebut sebuah departemen di kawasan Pasar Minggu, pemangku majalah itu. Kujawab bahwa aku sudah tidak lagi nongkrong di Cibubur, kantorku dulu. Juga tak lagi bergelut dengan harga CPO yang membumbung pada angka $1300/ton dan lantas bummm… rubuh di kisaran $700/ton dalam selang 3-4 bulan.

“Saya sekarang di tabloid remaja,
Gaul, di Tanjung Duren. Arah Grogol, Jakarta Barat, Pak,” jawabku setelah dia bertanya kemana sekarang aku berlabuh. “Jauh banget kamu pindah,” lidah Bataknya makin nyaring dan disambung dengan tawa hahaha. Mungkin maksudnya ‘jauh’ adalah soal perbedaan ranah media, tapi juga bisa menyoal jarak antara Cibubur-Tanjung Duren yang dari ujung ke ujung. “Sering ketemu artis kau!” celotehnya dan kujawab, tiap hari lah Pak! Tak terasa lidahku mendadak Batak. Tapi gagal total, jangankan lidah, seumur-umur bibirku saja belum pernah menjangkau bibir bidadari Batak. Hmm… mendadak curhat nih!

“Ya itulah, kapan-kapan kalau Inung ada waktu mainlah ke kantor yang di Pasar Minggu ya! Lantai 3 gedung B,” undangnya yang aku iyakan. Kubilang juga, aku akan baca majalahnya dulu biar nanti ngobrolnya lebih cair. Di ujung sana, Pak Hendra menunjuk beberapa toko buku besar tempat majalah itu ikut menyesaki outlet majalah dan koran. “Nanti bisa lah kau bikin wawancara perkebunan sama artis-artis itu ya,” katanya sebelum menutup perbincangan ramai kami. Siap komandan!!!

Hmm, bulan puasa ini memang penuh berkah.

Semoga menjadi rejeki, haiyaaa....

Tuesday, September 16, 2008

I'm here now!!!

Di sini lah kini, di sisi barat Jakarta yang nihil langit biru, bahkan biru muda pun sekalipun. Terlapis oleh asap menggantung. Jangan tanya sunrise, kutunggu selepas sahur sabtu kemarin pun yang ada hanya semburat oranye. Jangan harap pula keelokan matahari tenggelam datang tiap petang. Tapi, kalau memang beruntung, kadang kala bulat-merah-merona-menjilat begitu cantik di tepi horizon.

Disini pula, kusapa dunia dari dinginnya lantai empat. Setelah naik tangga lapis tiga yang bikin lututmu gemeretak, selamat datang di dunia yang ramai, dunia yang tak benar-benar lelap.***

Sunday, September 7, 2008

Sabar-sabar!


Puasa hari ke-7, Minggu 7 September 2008

Semilir angin Ibukota dari jendela dan kipas angin tak mampu mengusir hawa gerah siang ini. Udara panas menerobos ke tiap kamar rumah kosku, Kalimalang, Halim. Tak ayal, tiap penghuninya tak tahan berdiam di kamarnya. Alih-alih mencoba mencari udara segar di luar kamar, yang ditemui tetap saja sergapan hawa panas yang menerpa wajah di koridor samping atau di teras yang penuh tanaman pot sekalipun. Toh, 1-2 penghuni kos tetap memilih meninggalkan kamar. Tak lagi berharap mendinginkan badan memang, tapi sekedar menengok dan singgah di kamar kawan yang lain, berharap ada suasana yang berbeda meski gerah dan lapar tak bisa ditepis.

Aku sendiri memilih mengetik. Brainstorming-lah sambil memilih Metro TV di layar Samsung. Tidak aku tonton karena mataku mengkuti irama jemari di keyboard. Tayangan TV kutangkap dengan indera telinga daripada mata, TV yang audio visual lebih sebagai media audio, nyaris radio. Metro lantas menanyangkan sesi workshop program Eagle Award, sebuah ajang tahunan kompetisi produksi film dokumenter. Aku sejenak melirik layar kaca. Aha, dari belasan orang yang tertangkap kamera, ada dua wajah yang kukenal: Andari dan Lutfi, keduanya perempuan. Yang pertama, pemenang pertama Eagle Award tahun 2006 dengan film Joki Kecil-nya. Wajah yang kedua adalah Lutfi, cewek berjilbab, sebagai finalis dan kini mengikuti workshop. Keduanya aku kenal di komunitas pers kampus Bulaksumur, B21, Gadjah Modo University.

Pintu kamar diketuk pelan, daunnya berderit lirih. Sepasang mata dibaliknya melongok ke dalam. Ya, masuk saja, kataku. Seorang teman kamar sebelah rupanya. Segera ia menggelosor di ranjang di belakangku, bosan terlihat di rona mukanya. Matanya berkedip-kedip malas, sejenak ke arah tv, mimiknya makin surut.

Perhatiannya lantas beralih ke monitor komputer. Sudut mataku menangkap ia membaca ketikanku, biarin aja. Lantas celetuknya Emangnya ngetak-ngetik kayak gini bisa ndatangin duit? tanyanya terdengar sinis di siang panas ini.Amieeennn, jawabku setelah sebelumnya menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengulur urat yang tiba-tiba menegang. Sabar-sabar, cobaan puasa, batinku menghibur.*

Ilustrasi: Love Hate Love, Pameran Grafiti, LIP Jogja, 20/09/2007

Tiga Hari Bareng Aspire One, Kepincut deh...



Mumpung Eko, temanku, pulang kampung ke Jawa, dan meninggalkan Acer Aspire One-nya di kamar, aku menyempatkan menulis beberapa artikel dan postingan ke blog. Juga, mencoba mengetik 10 jari di keyboard yang mungil. Lumayanlah, tiga hari ini bisa ngrasain laptop berbodi putih bersih ini. Jumat kemarin Eko berangkat dari Gambir dan akan tiba di Ibukota pada Senin subuh.

Sepertinya asyik juga bekerja dan mengetik di laptop mungil ini. Aspire One sejajar dengna Asus Eee PC dan kemudian disusul laptop mini lansiran Dell. Kabarnya Acer memangkas harga dari US$ 420 menjadi US$ 360 alias Rp 3,24 jeti. Ehm, jadi pengen juga nih nenteng laptop ini. Apalagi diperutnya, kapasitas hardisk diupgrade hingga 120 gb, bandingan spek yang sebelumnya hanya 8 gb. Tentunya soal harga

dan spek perlu di konfirm lagi. Kapan nih Aspire One seri upgrade mejeng di etalase Ambasador atau Mangga Dua? Sabar... masih indent koq, hehehe. Lagian, jelang Lebaran, kantong makin kering sedangkan kebutuhan juga menggunung. First think first, moga segera sign kontrak di Tanjung Duren, kerjaan di Manggala beres dan cair sebelum lebaran (kemungkinannya sih fifty-fifty), terus pul-kamp ke Jogja bentar, balik lagi ke Jakarta. Laptop? Ntar dulu deh. Lha kalo nikah? Amien, wish we can make it!*

Kucing Garong Nyaris Dapet Tongkol

Layar kaca Sharp berkedip-kedip sejurus jemariku memencet remote control. Seorang kawan laki-laki melintas di ruang tengah dan bertanya basa-basi.

“Lagi santai nih?” tanyanya melambatkan langkahnya menuju ruang sebelah.

“Iya nih. Tapi acara TV-nya nggak ada yang menarik,” jawabku tanpa menoleh.

“Metro dong, presenternya cantik-cantik,” katanya menyentil seleraku.

“Lagi nggak cari yang cantik. Yang manis saja, kayak yang disini nih,” kataku merujuk pada gadis manis yang dari tadi membaca koran di samping depanku, membelakangi layar kaca, sama-sama duduk lesehan di ruang tv ini. Ia sekarang di desk ekonomi sedangkan aku di desk sosial budaya.

Kawan laki-lakiku segera berlalu setelah sebelumnya menyeru, halah! Aku terkekeh.

Si gadis manis mengangkat dagunya. Memandangku sejenak dan meruncingkan bibir seksinya seperti biasa jika ia akan mulai bicara. Cumipok, kata orang. Menggoda untuk dicium, kira-kira begitu artinya. Jangan coba mencari arti baku di kamus. Kalau primbon mungkin ada.

“Sudahlah Mas!” katanya. Matanya seperti menusuk lembut. Mau tak mau, tidak bisa tidak, aku memainkan sudut mata ke arahnya. Mulutku menyeringai siap membalasnya dengan godaan atau lebih tepatnya rayuan, seperti biasanya.

Rupanya ia lebih sigap dan mendahului gerakan bibirku.

“Sudahlah,” ulangnya lagi, “Enggak usah kucing-kucingan lagi!”

Aku tidak menanggapinya dengan verbal. Bibirku menyungging dengan sedikit menarik bibir bawah ke dalam yang membuat bibir atas terdorong maju sedikit. Memonyong, menirukan gerakan bibirnya tadi. Ia balas tersenyum. Seolah tak peduli, kembali membaca koran yang ia letakkan di karpet. Memberi kesempatan mata laki-lakiku mengelus rambut lebatnya yang berbando merah. Juga, menuntun bola mataku sekilas menelusuri belahan di balik kaosnya begitu ia menunduk. Tanpa mengangkat dagu, menegakkan punggungnya sebentar, dan seperti mampu membaca isi kepalaku, ia melirihkan suaranya, “Nggak ah. Kata ... (sekarang akuntan publik di Malang), kamu jalang. Cape deh!”

Aku terkekeh menutupi kaget campur gondok. Seperti kucing nemu tongkol keburu ketahuan empunya. Demikian AW, karibku berkisah ‘nasib malangnya’ jelang sahur tadi.***

Mesjidmu, hatimu


Begitu tertulis pada plakat di masjid Al Alam, Cilincing, Jakarta Utara yang oleh masyarakat sekitar disebut juga Masjid si Pitung. Konon, pahlawan-jawara di masa kolonial Belande sering sholat disitu. Maksud plakat itu, mungkin, kurang lebih mengingatkan kita agar turut memakmurkan masjid, tempat kita beribadat, menyapa Tuhan, memanjatkan doa dan juga gaul. Di masjid, yang tua bisa berbagi cerita atau malah diskusi. Yang muda boleh pula berkawan dan meluaskan pertemanan: antarkawan sekampung sesama jama'ah masjid maupun dengan kawan pegiat masjid dari masjid tetangga.

Pertautan hati jamak pula yang berawal dari masjid. Seperti cerita seorang teman padaku setelah sahur tadi. Masa kecilnya, kira-kira usia 4 SD, ia luangkan pula di masjid terutama saat puasa. Ia sebenarnya dari keluarga abangan, “Sholat bolong-bolong. Rajin sholat pun saat Ramadhan doang,” akunya. Toh, ia bersemangat ke masjid terutama ketika ta'jilan, buka puasa bersama. Di kampungnya, ta'jilan anak-anak dipisah dengan rombongan orang dewasa dan diisi dengan semacam pengajian/kultum yang dikemas interaktif untuk menarik anak-anak. Materinya berkisar tentang kisah nabi-nabi maupun sahabat nabi dan rasulullah. Ringan, edukatif nan menghibur. “Mas Afif, Dadang, Narto,” katanya mengenang mas-mas pengampu kultum ta'jilan.

Tampaknya, kemasan kultum yang bermateri kisah para nabi terbilang berhasil menarik perhatian anak-anak, pun temanku tadi. Ia tekun menyimak tuturan mas-mas dan mbak-mbak Remaja Masjid/Remas. “Aku rajin mengacung dan menjawab pertanyaan tentang cerita nabi,” katanya mengenang. “Misalnya, nama putra dan istri Nabi Ibrahim atau nama kota dan nama perang jaman Rasulullah,” tuturnya. Ketepatan jawabannya didukung oleh kegemarannya membaca buku-buku perpustakaan di sekolahnya. Sepintas otaknya tokcer. Tapi, “Jangan tanya soal bacaan ayat atau hadist sesederhana juz amma pun,” katanya sambil terkekeh. Sekolahnya di SD negeri dan terutama faktor didikan agama di keluarganya membuatnya kurang familiar dengan Al quran dan hadist.

Meskipun demikian, di mata teman sebayanya dan mas-mbak Remas pengampu kultum ta'jilan ia terhitung cerdas dan bersemangat. Ia pun menjadi salah satu anak emas. Acungan jarinya dirindukan jika ia tidak datang ke pengajian. Lantang suaranya yang tanpa malu-malu demi menjawab kuis dari ustad meramaikan tiap sore jelang berbuka.

Soal bacaan surat dan hadist yang terbata-bata, malah makin membuatnya menjadi perhatian. Pun dari seorang lawan jenis. Si teman perempuan sebaya dengannya, kelas 4 SD namun bersekolah di Muhammadiyah yang, tentu saja, telah lancar mengaji dan hapal luar kepala surat-surat Quran dan hadist. Kepada teman-temannya, si cewek bahkan bikin pengakuan soal temanku itu. ”Aku pengen jadi pacarnya. Kalau wis pacaran nanti aku akan ajari dia ngaji,” ujar temanku menirukan testimoni teman-temannya yang mengutip proklamasi cinta si cewek. Pengakuan itu beredar cepat di kalangan teman-teman. Tak ayal menjadi ledekan.

Dasar bocah, temanku cuek saja menanggapi cinta si cewek. Cuek bukan karena tak peduli tapi tidak begitu ngeh dengan ucapan seperti itu. “Pokoknya aku ngerasa senang saja karena tahu kalau diperhatikan. Soal cinta nggak tahulah,” katanya. “Mungkin juga karena bawah-sadar ngerasa minder karena bapaknya tokoh agama di kampung. Haji pula,” akunya lagi.

Konyolnya, meski tahu nama si cewek, ia malah belum mengenal benar sosok dan tampang cewek yang menaksirnya walau tiap sore berada di ruang yang sama. Katanya, “Aku kan main ke masjid ya baru saat itu. Dari lahir memang asing dengan masjid atau mushola.” Apalagi si cewek, menurutnya, berasal dari kampung sebelah meski kedua kampung bergiat di masjid yang sama. “Akrab dengan teman laki lain kampung ya pas puasa itu pula. Apalagi dengan teman cewek, blas nggak kenal sebelumnya,” tuturnya. Lantas tanyaku, mereka pacaran nggak akhirnya? Ia menggeleng, “Bapaknya haji. Kaya. Meski masih kecil tetapi aku sudah bisa merasa kalau ada yang tidak sepadan diantara kami.”*

Kabar dari Kawan yang Hilang


Seorang kawan yang menghilang 4 bulan dari peredaran kembali kutemukan. Ia lantas berkabar menjelang aku berangkat sholat Jumat pertama di bulan puasa ini. “Dalam waktu dekat. Sangat dekat!” katanya begitu menyangatkan di ujung telepon. “Setelah lebaran? Wah selamat ya!” sambutku, yakin dia akan berubah status setelah Ramadhan usai. “Emmm, sang...ngat dekat!” jawabnya dengan intonasi tertahan nan dalam. “Waks...baru kali ini mBak, aku mendengar ada orang nikah di bulan puasa,” kataku sambil terkekeh. “Congrats ya,” sekali lagi aku menyelamatinya. Dia terkekeh senang mendengar permintaanku agar tak lupa mengundangku menyaksikan pernikahannya.

Ehh...pertanyaan dimana, kapan dan dengan siapa si mBak bakal menuntaskan masa lajangnya malah terlewat oleh perbincangan ramai kami selanjutnya. Di dera bunyi tut tut pertanda HP low batt kami bertukar tentang kabar kami masing-masing, juga kabar kawan-kawan sekantor dulu di Cibubur.

Ia masih seperti dulu, berapi-api meletupkan semangat dan etos kerja profesional. “Aku di Bangka sekarang, dari Mampang ke arah Kemang,” katanya tentang kantor barunya di Jalan Bangka, Jakarta Selatan. Posisi redaktur di media cetak dan tengah sibuk bersiap kuliah jenjang S3 di UI menjadi kesehariannya sekarang. “Kemarin barusan wawancara Rachmat Witoelar di KLH trus tadi baru saja nge-mail revisi artikel untuk BSN,” jawabku begitu dia bertanya kerjaanku akhir-akhir ini. Obrolan hangat kami berakhir sejurus mataku mengerling ke jam dinding, 11.25, setengah jam lagi adzan sholat Jumat. “Keep in touch ya!” katanya. Siip!

Friday, September 5, 2008

Temanggung Pesta Tembakau, Sumbing Menyeru-nyeru


Masa panen tembakau di Tembakau tahun ini akan berlangsung lumayan lama, 2-3 bulan. Begitu Kompas Minggu menulis. Bukan soal tembakau sebenarnya yang membuatku teringat tentang Temanggung dengan tembakau yang konon terbaik di Tanah Air. Ya iyalah, kalau bukan terbaik enggak mungkin dua raksasa Gudang Garam dan Djarum membangun jaringan pasokan tembakau di sana.

Kali ini, aku menyebut kabupaten di eks karesidenan Kedu, Jawa Tengah itu karena setahun lalu, tepatnya bulan puasa tahun lalu, kakiku menjejak Gunung Sumbing disana. Bersama karibku, Teguh si anak Administrasi Negara UGM, kami mendaki melalui Parakan. Jalur yang kami pakai dari Pager Gunung dan melalui Cepit. Foto pertama diambil di basecamp kami, tampak di latar belakang adalah Sindoro (3150mdpl). Sindoro sering disebut saudara kembar Sumbing, sebagian kawasan mereka sama-sama masuk wilayah di Temanggung. Bedanya Sumbing lebih besar dan lebih tinggi. Sedangkan Sindoro lebing langsing.

Kami mendaki untuk meramaikan tradisi malem selikuran. Di malam hari menjelang hari ke-21 bulan puasa, masyarakat Temanggung mempunyai tradisi mendaki gunung Sumbing. Kami sih penggembira saja selain karena memang ingin menjajal terjalnya gunung berketinggian 3371 mdpl itu. Sumbing termasuk jenis gunung stratovolcano dan di posisi koordinat 7.384° LS 110.070°.

Kami berangkat dari Jogja pukul 16.30 naik motorku, si Kawasaki Kaze. Ketika tiba di Parakan, Casio-ku menunjuk angka 18.30 saat itu. Parakan sendiri satu kecamatan di Temanggung yang nyaris menjadi kota karena saking ramainya lalu lintas tembakau.

Kami kemudian menuju desa terakhir untuk menitipkan si Kaze ke rumah penduduk. Trek pendakian Sumbing dari jalur Parakan terbilang mudah dijabanin. Soal keterjalan seperti lazimnya gunung lainnya, melelahkan tapi tidak ekstrem. Mengasyikkan sih iya.

Setelah bermalam dan mendirikan tenda di atas kawasan yang disebut, kalau tak salah ingat, Watu Kasur, kami meneruskan pendakian pagi harinya. Setelah berkali-kali istirah

at karena kelelahan, kami akhirnya tiba di kaldera Sumbing pada pukul 09.00 dengan cuaca sangat cerah. Soal cuaca ini, kami sungguh beruntung karena salah satu kekhasan Sumbing adalah kadang kala ada badai besar yang menghadirkan angin yang berputar mengelilingi puncaknya. Kata beberapa pendaki, sering pula badai disertai kilat. Wuihh.... Memang ngeri tapi pemandangan juga sangat indah berupa awan yang berputar cepat, kata mereka. Aku jadi berpikir ulang, apakah sebenarnya kami memang beruntung karena tiada badai atau merugi karena tak sempat menikmati peristiwa alam dahsyat itu.


Kaldera itu lebih mirip lapangan bola bergaris tengah lebih setengah kilometer yang permukaannya berwarna putih keabu-abuan dan datar sedatar muka air. Hal ini karena kaldera Sumbing terbentuk dari kawah yang telah mati dan kemudian mengeras, tak heran jika permukaannya sangat datar. Kawasan kaldera memang luas dan disana terdapat beberapa puncak yang runcing. Menantang untuk didaki.

Di sisi timur kaldera, asap belerang masih terus mengepul dari kawah yang masih aktif. Saya sendiri tak yakin apakah sumber asap belerang itu bisa disebut kawah. Jika iya, maka Sumbing terbilang masih aktif meski tidak seaktif Merapi (2968 mdpl), mungkin Sumbing tengah tidur panjang. Di kawasan kaldera terdapat juga makam leluhur masyarakat Sumbing yaitu Ki Ageng Makukuhan. Disana ada beberapa gua, yang terbesar adalah Gua Jugil.

Puasa Ramadhan dan tulisan Kompas tentang tembakau Temanggung memang kemali mengingatkanku pada Sumbing. Keelokan, kekokohan, dan kepekatan debu kemarau di jalur trek menggodaku untuk mendakinya lagi. Aroma khas pucuk-pucuk tembakau di punggung Sumbing serasa menyeruku untuk kembali menyirami tanah vulkaniknya dengan peluh yang bercucur dan menjejakkan kaki di puncaknya.*

Hujan setahun lalu …


HUJAN sore di Agustus kemarau menyeruakkan aroma tanah yang khas tersiram curahan dari langit. Debu di genting rumah sebelah yang terletak hampir sejajar dengan jendela kamarku, terangkat dari permukaannya.

Sejenak menari ditingkahi deras hujan dan lantas menghilang seiring hembusan angin dari penjuru selatan Jakarta. Hawa dingin tiba-tiba menggantikan gerah yang seharian tadi menguasai ruang kamar.

Campuran aroma tanah, debu genting dan hembusan dingin membawa kembali memori saat aku masih di Jogja hampir setahun silam. Memang, aku sering mengalami suasana yang sepertinya pernah kurasakan pada suatu masa yang lampau.

Mungkin termasuk de javu. Bukan mengenai tempat tetapi lebih soal kesamaan rasa suasana. Saat hujan sesiang kemarin itu, ingatan kembali ketika sendirian di kantor Kelir, Nagan Lor tak jauh dari Kraton Jogja.

Tepatnya adalah saat membuka jendela dan pintu yang sebelumnya saya tutup rapat-rapat karena hujan turun sangat deras dan angin bertiup kencang. Keduanya datang begitu tiba-tiba karena sebelumnya cuaca di atas Nagan terhitung cerah siang itu.

Meski di sisi langit utara terlihat awan menggantung, aku tak menduga jika cuaca berubah cepat dan menghadirkan sedikit ngeri. Hujan benar-benar deras dan angin pun membanting-banting pintu dapur. Ketika itu bahkan boleh disebut badai, tamsil untuk hujan bagai tercurah dari tempayan rasanya tak berlebihan.

Ketika angin kira-kira tak lagi berhembus kencang, aku coba menengok ke luar jendela. Ternyata hujan masih sederas tadi. Air cucuran mengalir deras ke halaman yang lumayan lapang menuju ke drainase kanan kiri jalan yang membanjir, tak sanggup lagi menampung air hujan. Perbedaan suhu di dalam kantor dan luar membuat aliran udara serta merta menerobos begitu jendela kubuka.

Udara dingin menerpa wajah dan lantas menyisir kuping dan kulit kepala. Rasa sepi makin menusuk seiring aroma lembab tanah, denting genting tersiram hujan dan hembusan kencang hawa dingin. Sembribit, orang Jawa bilang.

Saya terpikir akan teman-teman kantor yang dari pagi keluar kantor. Ardian yang mengambil materi brosur di Kotabaru, Wawan yang tengah di percetakan, Iwan yang mengambil film separasi, Mas Timbul yang sedang di warnet mengirim proof desain poster lomba burung via email. Juga Mas Wiwin yang mungkin terkurung di Mazda merahnya berusaha menembus pekat hujan di jalan Magelang dan Nanang yang entah dimana.

Aku juga teringat dua keponakan Hana dan Ali serta almarhum Ibunda yang kasih sayangnya tak lekang dimakan jaman dan tak luntur terguyur air hujan. Nyesss….