Friday, September 5, 2008

Hujan setahun lalu …


HUJAN sore di Agustus kemarau menyeruakkan aroma tanah yang khas tersiram curahan dari langit. Debu di genting rumah sebelah yang terletak hampir sejajar dengan jendela kamarku, terangkat dari permukaannya.

Sejenak menari ditingkahi deras hujan dan lantas menghilang seiring hembusan angin dari penjuru selatan Jakarta. Hawa dingin tiba-tiba menggantikan gerah yang seharian tadi menguasai ruang kamar.

Campuran aroma tanah, debu genting dan hembusan dingin membawa kembali memori saat aku masih di Jogja hampir setahun silam. Memang, aku sering mengalami suasana yang sepertinya pernah kurasakan pada suatu masa yang lampau.

Mungkin termasuk de javu. Bukan mengenai tempat tetapi lebih soal kesamaan rasa suasana. Saat hujan sesiang kemarin itu, ingatan kembali ketika sendirian di kantor Kelir, Nagan Lor tak jauh dari Kraton Jogja.

Tepatnya adalah saat membuka jendela dan pintu yang sebelumnya saya tutup rapat-rapat karena hujan turun sangat deras dan angin bertiup kencang. Keduanya datang begitu tiba-tiba karena sebelumnya cuaca di atas Nagan terhitung cerah siang itu.

Meski di sisi langit utara terlihat awan menggantung, aku tak menduga jika cuaca berubah cepat dan menghadirkan sedikit ngeri. Hujan benar-benar deras dan angin pun membanting-banting pintu dapur. Ketika itu bahkan boleh disebut badai, tamsil untuk hujan bagai tercurah dari tempayan rasanya tak berlebihan.

Ketika angin kira-kira tak lagi berhembus kencang, aku coba menengok ke luar jendela. Ternyata hujan masih sederas tadi. Air cucuran mengalir deras ke halaman yang lumayan lapang menuju ke drainase kanan kiri jalan yang membanjir, tak sanggup lagi menampung air hujan. Perbedaan suhu di dalam kantor dan luar membuat aliran udara serta merta menerobos begitu jendela kubuka.

Udara dingin menerpa wajah dan lantas menyisir kuping dan kulit kepala. Rasa sepi makin menusuk seiring aroma lembab tanah, denting genting tersiram hujan dan hembusan kencang hawa dingin. Sembribit, orang Jawa bilang.

Saya terpikir akan teman-teman kantor yang dari pagi keluar kantor. Ardian yang mengambil materi brosur di Kotabaru, Wawan yang tengah di percetakan, Iwan yang mengambil film separasi, Mas Timbul yang sedang di warnet mengirim proof desain poster lomba burung via email. Juga Mas Wiwin yang mungkin terkurung di Mazda merahnya berusaha menembus pekat hujan di jalan Magelang dan Nanang yang entah dimana.

Aku juga teringat dua keponakan Hana dan Ali serta almarhum Ibunda yang kasih sayangnya tak lekang dimakan jaman dan tak luntur terguyur air hujan. Nyesss….

No comments:

Post a Comment