Friday, September 5, 2008

Temanggung Pesta Tembakau, Sumbing Menyeru-nyeru


Masa panen tembakau di Tembakau tahun ini akan berlangsung lumayan lama, 2-3 bulan. Begitu Kompas Minggu menulis. Bukan soal tembakau sebenarnya yang membuatku teringat tentang Temanggung dengan tembakau yang konon terbaik di Tanah Air. Ya iyalah, kalau bukan terbaik enggak mungkin dua raksasa Gudang Garam dan Djarum membangun jaringan pasokan tembakau di sana.

Kali ini, aku menyebut kabupaten di eks karesidenan Kedu, Jawa Tengah itu karena setahun lalu, tepatnya bulan puasa tahun lalu, kakiku menjejak Gunung Sumbing disana. Bersama karibku, Teguh si anak Administrasi Negara UGM, kami mendaki melalui Parakan. Jalur yang kami pakai dari Pager Gunung dan melalui Cepit. Foto pertama diambil di basecamp kami, tampak di latar belakang adalah Sindoro (3150mdpl). Sindoro sering disebut saudara kembar Sumbing, sebagian kawasan mereka sama-sama masuk wilayah di Temanggung. Bedanya Sumbing lebih besar dan lebih tinggi. Sedangkan Sindoro lebing langsing.

Kami mendaki untuk meramaikan tradisi malem selikuran. Di malam hari menjelang hari ke-21 bulan puasa, masyarakat Temanggung mempunyai tradisi mendaki gunung Sumbing. Kami sih penggembira saja selain karena memang ingin menjajal terjalnya gunung berketinggian 3371 mdpl itu. Sumbing termasuk jenis gunung stratovolcano dan di posisi koordinat 7.384° LS 110.070°.

Kami berangkat dari Jogja pukul 16.30 naik motorku, si Kawasaki Kaze. Ketika tiba di Parakan, Casio-ku menunjuk angka 18.30 saat itu. Parakan sendiri satu kecamatan di Temanggung yang nyaris menjadi kota karena saking ramainya lalu lintas tembakau.

Kami kemudian menuju desa terakhir untuk menitipkan si Kaze ke rumah penduduk. Trek pendakian Sumbing dari jalur Parakan terbilang mudah dijabanin. Soal keterjalan seperti lazimnya gunung lainnya, melelahkan tapi tidak ekstrem. Mengasyikkan sih iya.

Setelah bermalam dan mendirikan tenda di atas kawasan yang disebut, kalau tak salah ingat, Watu Kasur, kami meneruskan pendakian pagi harinya. Setelah berkali-kali istirah

at karena kelelahan, kami akhirnya tiba di kaldera Sumbing pada pukul 09.00 dengan cuaca sangat cerah. Soal cuaca ini, kami sungguh beruntung karena salah satu kekhasan Sumbing adalah kadang kala ada badai besar yang menghadirkan angin yang berputar mengelilingi puncaknya. Kata beberapa pendaki, sering pula badai disertai kilat. Wuihh.... Memang ngeri tapi pemandangan juga sangat indah berupa awan yang berputar cepat, kata mereka. Aku jadi berpikir ulang, apakah sebenarnya kami memang beruntung karena tiada badai atau merugi karena tak sempat menikmati peristiwa alam dahsyat itu.


Kaldera itu lebih mirip lapangan bola bergaris tengah lebih setengah kilometer yang permukaannya berwarna putih keabu-abuan dan datar sedatar muka air. Hal ini karena kaldera Sumbing terbentuk dari kawah yang telah mati dan kemudian mengeras, tak heran jika permukaannya sangat datar. Kawasan kaldera memang luas dan disana terdapat beberapa puncak yang runcing. Menantang untuk didaki.

Di sisi timur kaldera, asap belerang masih terus mengepul dari kawah yang masih aktif. Saya sendiri tak yakin apakah sumber asap belerang itu bisa disebut kawah. Jika iya, maka Sumbing terbilang masih aktif meski tidak seaktif Merapi (2968 mdpl), mungkin Sumbing tengah tidur panjang. Di kawasan kaldera terdapat juga makam leluhur masyarakat Sumbing yaitu Ki Ageng Makukuhan. Disana ada beberapa gua, yang terbesar adalah Gua Jugil.

Puasa Ramadhan dan tulisan Kompas tentang tembakau Temanggung memang kemali mengingatkanku pada Sumbing. Keelokan, kekokohan, dan kepekatan debu kemarau di jalur trek menggodaku untuk mendakinya lagi. Aroma khas pucuk-pucuk tembakau di punggung Sumbing serasa menyeruku untuk kembali menyirami tanah vulkaniknya dengan peluh yang bercucur dan menjejakkan kaki di puncaknya.*

No comments:

Post a Comment