Monday, July 13, 2009

Bocoran hari ini...

Waktu rapat tadi pagi, ada beberapa pelajaran yg sayang kalu cuman kuingat-ingat:
1. kalo bikin acara press conference yang acara utamanya di dalam gedung, press-con jg sebaiknya dalam gedung.
kasus nih, kelar ninjau pameran di ruang lobby hotel Sahid, direncanakan menteri pertanian datang ke press-con bareng dirjen, gubernur dll, nah ada yg usul press con di ruangan terbuka pojok area kolam renang, PRnya Martha Tilaar kontan menggeleng. "Sebaiknya di dalam ruang. pertama karena ada menteri dan kedua, karena acara utamanya di indoor jg.
bener juga sih kalo beberapa kali press-con, Pak Anton sang mentan kita lebih milih di bawah terik matahari atau tenda, lha iyalah karena acara utamanya peninjauan lapangan di tengah hamparan sawah padi atau kebun kopi. paling jauh ya acara dialog dg wartawan di pendopo: beratap tapi tanpa dinding, semi indoor gitulah.
2. Oya, press con jg ngundang wartawan daerah setempat, so karna kita ga begitu kenal peta media disana, mending minta bantuan atau kerjasama dengan humas pemkot/pemda yg udah kenal secara instusi n personal dengan para wartawan. Bagus juga kita kalo kita punya kenalan wartawan daerah itu dan direkrut jd konsultan media, jadi 'EO' penggerah dan penggerak temen-temen media di daerah itu. Lebih luwes, akrab, dan efektif serta meminimalisir risiko miskomunikasi. acara di lain waktu di kota oti jg bakal lebih enak lagi karena udah py networking media.
3. kalo bikin acara di luar kota, sebaiknya dibentuk panitia lokal yang menangani koordinasi di tempat acara, misalnya: mengurusi stand pameran, kontak dg hotel, MC lokal, merekrut panitia lokal, kebutuhan transportasi-logistik, dan agenda tambahan yg mendadak plus guide terpercaya kita pas sesi jalan-jalan qe3
***

Friday, July 3, 2009

Ex Heartbreaker

“Tau ndak Mas?”
“Ndak je jeng!”
“Aku kie arep crito je!”
“Hehehe, lha piye to?”
“Aku ketemu meneh… sama bangsat satu kae hihihi…”
“Katamu ‘bangsat’, koq malah cekikikan? Ngumpatnya gak tulus!”
“Sik to… pancene ngono je arek-e. Rasah sok cemburu, gak ilok!”

Lola, pastinya bukan nama paspor, lantas bercericit sepanjang lunch-break pas acara diskusi panel tadi siang. Ia sendiri bekerja di government affair (GA- bukan general affair lho) di perusahaan asing produsen makanan di bilangan TB Simatupang.

Kemarin pagi, waktu acara Press-Con, ia ketemu dengan lelaki dari masa lalunya. Sepanjang ia bercerita, umpatan jawa-timurannya pun meletup-letup hampir di setiap penggal kalimat yang keluar dari bibir mungil ber-lipgloss. Tarikan nafasnya turun naik mengikuti bangun rasa hatinya yang (kembali) kasmaran. Tisu makan yang telah kucel terus saja ia kremes-kremes, saking gemesnya pada subyek curhatannya.

Katanya sih, si Bangsat-Cute, demikian ia menjulukinya *aq baru tahu ada begundal yg manis qe3* aslinya bernama Bangkit … … . Sekarang ia berkarir di Jakarta, sama-sama GA, di perusahaan asing kondang spesialis pakan ternak.

Pertemuan mereka setelah 3 tahun tak bersua itu bergulir mengalir, saling tanya kabar dan tukeran kartu nama. Standar lah. Tukeran nomer HP ndak, tanyaku iseng. “Gak, wong nomere isih sama kok. Paling-paling ngeluarin HP masing-masing buat nunjukin aktualisasi qe3,” katanya tanpa bermaksud nyindir diriku yang berHP jadul, Motorola C381.

Jebolan HI UGM ini lalu lebih banyak berbusa-busa soal kelakuan dia dan Bangkit duluuu… yang membuatnya sebel gimana gitu. Lola masih ingat betul bahasa tubuh mereka berdua. Ia haqul yaqin mereka saling tertarik meski masing-masing udah punya pacar. “Chemistry kita udah deket lho. Tenan!” klaimnya sambil menggigit bibir. Ia akui kalau selalu jaim sedangkan dimatanya, Bangkit cenderung jelalatan.

“Beda sama pacarku yang adem, cool. Ganteng sih tapi aku kan pengennya dibandelin juga qe3,” ceplos Lola. Aku menelan ludah, weleh-weleh bocah iki!

Sayangnya, mereka toh tetap bersama pasangan masing-masing. Patah hati dong, ledekku. Ia hanya mengangkat bahu. Usai kuliah kelar, semua bubar jalan. Lola dan pacarnya masih di Jogja, Bangkit menyeberang ke Balikpapan.

“Bener-bener lost contact. Tapi emang gak ada alasan buat komunikasi. Lha wong gak pernah ngobrol beneran. Paling-paling dia yang nggombal, curi-curi pandang. Kalo aku ya sok gak sengaja nyenggol tangannya hihihi,” Lola kembali terkikik.

“Pacarmu?”
“Gak pernah marah tuh.”
“Emang pernah ngeliat kelakuanmu?”
“Ya gak lah. Curiga sih sempet hehehe tapi bukan Lola kalo ga pinter ngerih-erih (nenangin).”

Acara makan siang hampir selesai dan aku belum sholat dhuhur, juga Lola. Sambil berjalan sepanjang koridor menuju mushola, kutanya bagaimana perasaannya setelah ketemu dengan Bangkit kemarin itu. Ia menjawab runtut.

“I’m free now. Pacarku teges-teges gak iso ninggalin Jogja. Aku mau gimana sama Bangkit, cuma persoalan ujung jari,” katanya sambil memperlihatkan nomer seluler Bangkit di layar Nokia E71-nya.*

Wednesday, July 1, 2009

Pahlawan!

Jujur, pertama sih pengen ngasih judul ‘hero’. Sepertinya lebih mantaf, pelafalan gampang, singkat dan jelas-jelas bahasanya mas Beckham. Setelah miringin kepala ke kanan kiri, ‘pahlawan’ juga tetap bahkan lebih kuat, segar dan membumi.

Selebihnya, cuma persoalan kebiasaan. Juga, terus terang sambil malu-malu, sebagian isi hati ini, koq berasa bangga bisa ngingris-inggris. Latah nih! Paling jauh sebenarnya perasaan bangga juga cuma sugesti.

Ah, ngomongin soal pahlawan juga karena sisi nasionalisku baru saja tersentil. Atau malah tepatnya tersentak (lagi). Jumat malam kemarin, barusan nonton King bareng hanih. Ini film terbaru rilisan Alenia Production. Film bagus yang bertutur tentang keteguhan hati atlit cilik badminton. Perjuangan meraih cita-cita sealigus obsesi seorang orang tua tunggal menjadikan anak semata wayangnya jadi bintang olahraga populer itu.

Tejo, sang ayah (Mamiek Prakoso) pun menamai anaknya sama dengan nama lokal sang legenda Lim Swie King, yaitu Guntur (Rangga Raditya). Belia, masih anak SD. Ia anak desa pelosok di kaki kawah Wijen. Malah, saking pelosoknya hanya mobil Mitsubishi L300 dan Land Rover double cabin yang mampu menapaki jalan berbatu dan merayapi tanjakan menuju desa itu.

Bagi sebuah desa yang senantiasa berselimut kabut, badminton menjadi satu-satunya hiburan. Selain buat tontonan juga untuk salah cara efektif menghangatkan badan. Tak pelak, selain tayangan tv, pertandingan antar warga jadi tontonan mengasyikan. Nama-nama yang malang melintang di arena badminton akrab mereka dengar dan perbincangkan sebagai idola, panutan dan hero eh pahlawan.

Ayah Guntur juga memiliki pahlawan di hatinya. Ia berhak memilih King sebagai panutan dan idola, bukannya memilih seorang Soeharto atau Soedirman. Malah, Tejo pun memimpikan prestasi Lim Swie King menitis pada Guntur. Pun orang lain, berhak juga menggadang-gadang seseorang sebagai yang dipuja dan diharap-harap prestasinya.

Raden (Lucky Marten), sobat kental Guntur, juga memiliki pahlawannya sendiri. Nggak lain ya Guntur itu. Teriakan Raden paling melengking setiap Guntur bertanding di lapangan desa, melawan Ranio seorang staf kelurahan yang jauh lebih dewasa ataupun teman sebaya Guntur pada pertandingan antar sekolah. Sosok Raden tak berjarak dengan para tifosi Liga Italia atau hooligan Liga Inggris dan Belanda. Ia bolelah dibilang sefanatik bebotoh Persib atau semilitan Jak Mania. Semua untuk Guntur, berkali-kali perbuatan dosa pun ia jalani demi raket untuk pahlawannya. Toh kalau ketahuan, Guntur lah yang jadi pesakitan: squat jump 100 kali dan lari 50 putaran.

Menyimak bahasa visual dan dialog King, plus soundtrack menghentak dari Ipang soal perjuangan dan nasionalisme membela harga diri bangsa, aku sempat terpaku. Seperti waktu nonton Laskar Pelangi. Terpapar jelas langkah-langkah anak bangsa bahu membahu menyokong sehabatnya. Dengan caranya sendiri dan bahasanya sendiri yang kadang atau sering ditangkap lain oleh karibnya sendiri.

Guntur sah-sah saja bilang kalau Raden hanya berteori selama ia mendampingi Guntur berlatih atau terlalu banyak berharap ia begitu tangguh. Guntur juga bisa merasa terbebani oleh obsesi bapaknya agar anaknya selalu menang dan menang. Nah kalau dilihat dari sisi Raden dan bapaknya, juga orang-orang sedesa, justru mereka menitipkan mimpi setinggi langit atau paling nggak setinggi lompatan smash karena Guntur satu-satunya pahlawan desa pelosok itu.*

Rabu malam

Coklat bubuk yang kudapat dari Tangerang telah ludes. Tak ada teman minum lagi malam ini. Teh, aku sudah bosan. Air putih sajalah. Sekalian mengurangi konsumsi gula.

Kuteruskan membaca artikel hasil download tadi sore di warnet.

Otak ini memang mesti istirahat. Bukannya dibawa tidur tapi malah melongok tulisan kawan di blog masing-masing dan catatan di FB.

Gerutuan Tarli soal GM kubaca pertama kali lalu oleh-oleh Zen dari Taman Sari dan Gunung Agung.

Wah, kangen Jogja tenan ki!*