Monday, October 12, 2009

Ciplak.Kalimalang.07.09

Boarding House Punye Cerite

Setiap alamat selalu menyimpan cerita, bukan sekedar sesuatu. Karena, cerita layaknya berita, peristiwa atau rangkaian kisah yang disampaikan *Vademekum Wartawan-nya Kompas*. edangkan sesuatu hanya menunjuk antah berantah.

Begitu juga dengan sebuah alamat tempat aku ngekos, di belakang SD Putra, sejajar dengan Jl Kalimalang. Jika kita naik mikrolet 09, 29 dan metromini 58 dari Cililitan atau 18 dan metromini 54 dari Kampung Melayu, sebutlah Pasar Ciplak pada kernet dan sopir, pasti langsung diangguki dan kita turun tepat di simpang tiga dekat SD Putra. Di situ juga segarnya buah-buahan dipajang di kios-kios yang berjajar rapi.

Kalau sampai terus hingga Futsal Gudang Seng, berarti kebablasan. Dari lampu merah Penas, gedung Wika- jl DI Panjaitan, cuma 400 meter.Rumah kos bercat putih itu sepertinya bangunan lama meski bukan rumah kuno. Paling cepat mungkin dibangun tahun awal 80an. Didepannya ada teras yang dipenuhi dengan tanaman dalam pot koleksi mBak Arni, induk semang kami. Setelah membuka pintu depan yang berdaun pintu kanan-kiri, tampak ruang tamu lebar dan memanjang, 4 meter kali 12 meter.

Di sisi ruang tamu, berjajar 3 pintu kamar yang dikoskan. Ruangannya lega banget untuk ukuran kamar kos di Jakarta, lebar 4 meter panjang 6 meter! Harga sewa sebulan Rp 400ribu. Bandingkan dengan kamar kawanku Tami di bilangan Karet yang cuma 3x2 meter dan harga sewanya Rp 600-800meter per bulan, itupun satu sisi berdinding triplek tanpa jendela. Di sana cuma 'menang' dekat dengan kawasan Sudirman.

Pantas saja, waktu Tami pindah ke rumah ini, ia bilang kamarnya jauh lebih manusiawi plus jendela lebar yang membawa angin dari arah komplek Halim leluasa mengirim oksigen.

Dua dari kamar itu dipakai oleh masing-masing Milo dan Joe, duo sobat sejati sejak masih TK di Jepara, Jateng hingga kini berkarier di Ibukota. Milo kini kerja di Mahkamah Agung dan Joe, dedengkot Grup Puisi Cinta di Facebook, manajer di sebuah perusahaan konstruksi spesialis menara BTS. Satu kamar lagi yang paling depan dekat teras lebih sering untuk keluarga mbak Arni. Sebetulnya juga dikoskan tapi belum ada yang mau.

Di lantai atas, ada 3 kamar yang lua snya bervariasi plus ruang bebas tempat kami ngobrol. Waktu aku datang pertama kalinya, Oktober 2007, kamar terlapang dipakai Aan, kerja di Mahkamah Konstitusi. Kira-kira 4x5 meter. Kini setelah Aan menikah dan tinggal di Utan Kayu, ditempati Veen.

Sebelahnya lebih kecil, lebar 3 meter dan panjangnya 5 meter juga. Kini dihuni Tabi, amtenar Pertamina :). Kamar ketiga, paling kecil. Lebar 2,5 meter dan panjang kurang dari 4 meter. Sebelum pindah ke Batusari Juni 2009 kemarin, aku sempat ngekos di kamar yang salah satu sisinya berdinding triplek. Sewanya Rp 275ribu per bulan. Ketiga kamar membentuk posisi 'L' yang di depannya terdapat ruang kosong yang memang untuk kongkow, mungkin dulu dimaksudkan untuk ruang tamu kos.

Di rumah bagian belakang masih ada satu kamar luuasss yang juga dikoskan, 4,5 x 7 meter plus kamar mandi dalam. Sekarang dihuni oleh dua bersaudara dari Sragen, Anto dan Eri. Yang pertama bekerja di BPS dan yang kedua sehari-hari di Datascript. Di depan kamar mereka ada halaman belakang yang lapang dengan pintu akses keluar rumah. Pintu ini sekaligus pintu belakang rumah besar ini.

Anak dan Menantu
Keluarga mbak Arni tinggal di rumah ini juga, tepatnya setelah dapur yang berada di antara ruang tamu dan rumah keluarga mbak Arni. Ia tinggal bersama suaminya, Ardi, dan tiga anak lelakinya.Sejatinya, pemilik rumah adalah orangtua mas Ardi. Kami memanggilnya
Pak dan Bu Shafi, pensiunan TNI AU yang memilih menghabiskan masa tuanya di Klender, Jakarta Timur, 30 menit dari rumah ini. So mbak Arni adalah menantu.

Nah didapuknya mbak Arni sebagai induk semang oleh sang mertua bukan karena ia perempuan yang punya stereotype lebih andal mengurus sektor domestik alias tetek bengek rumah. Juga bukan lantaran sang suami lebih sibuk di sektor publik bekerja di kantoran. Bukan itu sodara- sodara! Tapi karena prosesor yang tertanam di kepala mas Ardi tak lebih dari Pentium II ketika anaknya yang sulung kelas 2 Smp sudah beranjak bengal dengan prosesor Core 2 Duo hehehe, piss!

Next: mbak Arni dan Omm-omm Kos

--

No comments:

Post a Comment