Saturday, February 13, 2010

Ngamen















Ketika masih nganggur luntang-luntung, aku mengangankan mendapat satu saja pekerjaan. Ketika kemudian bekerja, aku tak habis pikir pula mendapati kawan bekerja di dua tempat.

Orang bilang sambilan. Dan, sebagian lainnya menyebutnya ngamen. Malah, tak sedikit yang memilih: semuanya jadi pekerjaan utama. Waduh, makin tak habis pikir aku.

Pertama kali mendengar istilah ngamen ketika di Jogja. Sebutan ini populer di kalangan dosen yang juga mengajar di kampus lain. Misalnya, dosen UGM mengajar pula di Atmajaya. Atau, mengampu mata kuliah di UII sekaligus di UPN.

Aktivitas memaparkan materi kuliah secara lisanlah yang kemudian diidentikkan dengan 'ngamen'. Sama-sama cuap-cuap dan mendapat imbalan materi.

Oya, istilah ngamen bukan sebutan bernada sinis dan bukan pula disampaikan oleh kalangan mahasiswa atau publik pada para dosen. Intinya, bukan olok-olok.

Malah, aku mengenal sebutan ngamen dari beberapa dosen aku di Fisipol UGM yang juga mengajar di tempat lain. Pun, Bu dosenku dari FE UGM yang mengajar mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi bagi anak-anak Fisipol, menyebut pula kosakata ini dengan nada bercanda dan terus terang. Beliau juga praktisi 'ngamen'.


Ngamen di media

Ketika bekerja pertama kali di sebuah majalah di Jakarta, redaktur alias atasan aku juga nyambi. Tepatnya, kantor kami yang menjadi sambilan dia. Sedangkan pekerjaan utamanya sebagai redaktur di harian nasional di Jakarta.

Kala itu, aku heran dengan kemampuannya membagi waktu dan pikiran bekerja di dua tempat. Meski di kantorku ia hanya datang hari Rabu dan Sabtu, menurutku, energinya pasti ekstra karena masih pula memeriksa naskah dari reporter macam aku. Belum lagi ia terlibat langsung dalam perencanaan materi majalah.

Bisa jadi, energinya terdorong oleh stimulan berupa imbalan materi yang sepadan. Kutahu, perbulan ia mendapat paling sedikit Rp 4 juta (PS: makanya jangan naruh catatan gaji sembarangan). Mungkin sekarang sudah naik meski kawan reporter yang masih bertahan disana mengeluh belum ada peningkatan gaji yang berarti.

Malah, "Beban kerja berlipat sekarang," keluh salah satu kawanku disana. Kubilang, bisa jadi soal waktu saja. Tak mungkinlah tidak ada kesesuaian gaji apalagi iklannya lumayan mengalir.

Nah, kubilang pula pada dia untuk ikutan ngamen. He-he-he, celetukan yang asal saja meski ku yakin patut dicoba. Gantian kawanku mengangkat bahu. "Tak ada waktu. Boss tidak bakal kasih restu!" Jawabnya pasrah.

Hmm... Aku jadi ingat waktu masih kerja disana, aku sempat menulis untuk media lain. Memang kendalanya soal waktu.


Order

Waktu itu sekitar bulan Maret 2009, aku dapat order wawancara dan menulis soal terigu impor untuk majalah sebuah instansi pemerintah. Jadwal dan narasumber sudah diatur oleh temanku yang bekerja di instansi itu. Kalau tak salah ingat hari Rabu jam 11 di perkantoran bilangan Blok M.

Jam 9 pagi aku masuk kantor terlebih dulu, setor muka saja sambil siap-siap wawancara. Aku sempat browsing berita terigu yang aktual. Ngeprint beberapa lembar outline wawancara pun dengan diam-diam. Maklum, ya karena tak ada aturan yang membolehkan 'ngamen'.

Satu jam kemudian aku sudah diatas mikrolet menuju Cililitan. Disitulah aku merutuki ketimpangan: reporter yang bergaji ngepas berusaha mendapat tambahan penghasilan tapi kantorku tak memberi lampu hijau.

Memang tidak melarang tapi tak ada pula celah untuk leluasa. Sementara itu, redakturku menjadikan kantorku sebagai sambilan dan tentu saja pihak kantorku menyadarinya.


Inferior

Yang aku lihat dari posisi ini, kantorku ambigu dan lemah plus inferior. Menurutku, jika ngeh dengan kemampuan keuangan yang terbatas, mestinya kantor memberi peluang bagi reporternya untuk mendapat penghasilan tambahan. Asal, tidak menganggu pekerjaan utama.

Lagian, jika dari awal merelakan, kantor layak bangga karena kinerja karyawannya diakui oleh media lainnya.

Konyolnya lagi, redakturku berpesan agar anak-anak jangan bilang pada siapapun, maksudnya kalangan wartawan lainnya, bahwa ia bekerja pula di kantorku itu.

Bwahahahaha, takut pula ia ketahuan oleh kantor utamanya. Tak pula ia mengakui keberadaan posisinya. Pantaslah kalau aku menyebut kantorku itu inferior.

Bos juragan juga ikutan wanti-wanti. Ndagelnya, ketika ada reporter senior baru, alih-alih mengingatkan posisi sang redaktur, si reporter senior malah lebih banyak tahu soal sang redaktur bahkan komunitas mroyeknya sang redaktur pun ia tahu.

Juga ada sisi lucu lainnya tapi kusimpan saja di akhir cerita ini. Soal amplop.

Kini aku pun ngamen. Bedanya kantorku bukan hanya membolehkan tapi juga 'menyuruh'. Meski job desc-ku selaku penulis dan pengumpul berita soal energi, kadang pula mendapat job lainnya. Misalnya membantu pelaksanaan acara, semacam EO, yang diselenggarakan divisi lain di kantorku. Itu jelas ada kontraprestasinya.

Juga, menulis artikel untuk orang lain yang menjadi kawan baik kantor. Istilahnya ghost-rider eh ghost-writer ding. Imbalannya lumayan, bisa sampai lebih dari satu bulan gaji, jika dimuat lho.

Dan ternyata, semuanya berjalan menggelinding saja. Tak perlu energi ekstra atau otak Cherebrovit. Syaratnya, manajemen waktu yang matang. Selanjutnya, wawasan dan skill akan menyesuaikan saja. Begitu menurutku.


Amplop

Nah, balik ke soal redaktur di mediaku sebelumnya dan kisah amplop. Pernah satu ketika, kita membahas khusus tentang amplop. Maksudnya pemberian sesuatu, uang atau barang, yang terkait kegiatan jurnalistik kita.

Redakturku ikut pula menggarisbawahi penyikapan bos juragan. Dilarang menerima amplop! Tegasnya.

Lucunya, aku tahu persis media tempat ia bekerja pun menerima imbalan uang atas pemberitaan ini-itu. Lha wong aku yang nyerahin duitnya ke selah satu redaktur sambil nongkrong ongkang-ongkang kaki di kafe bilangan Sarinah.

Okelah, reporter dilarang menerima tapi praktiknya: pihak media termasuk redaktur, yang terpikat menerima pinangan amplop. Beware about your words! Prikitt-tiuw :) ***

4 comments:

  1. aseeeek... inung banyak sabetannya.. ! ayo nung traktir aku kalau kamu mampir. :D

    ReplyDelete
  2. @ surya senja: sabetan kanan kiri, atas bawah, wes ewes ewes qe3

    ReplyDelete
  3. tulisannya rapi, terbiasa nulis di media.
    amplop melebihi gaji sebulan? menggiurkan sekali...hehe....

    ReplyDelete
  4. @ Narti: nulisnya kebawa kerjaan, mbak qe3 trims. Soal menggiurkan sih iya tapi masih kalah yummie dibanding tape ketan hitam, risoles ama chicken shawarma sandwich xixixi

    ReplyDelete