Tuesday, January 31, 2012

Kala tani tak lagi identik miskin

Sumpah, ini copy-paste dr Antara. Buat cambuk bg mental-pegawai yg masih nongkrong d otak sayah :D
+++
Kala tani tak lagi identik miskin
Senin, 30 Januari 2012 11:58 WIB | Dibaca 1714 kali
Oleh Ganet Dirgantara
Majalengka (ANTARA News) - Menjadi petani tidak identik dengan kemiskinan, setidaknya penduduk di Desa Suniabaru, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Masyarakat di sana membuktikan lebih dari 80 persen penduduk di desa berhawa sejuk itu, sejak 1997, telah menikmati kesuksesan dari profesi bertani.

Menurut Fachrudin, salah seorang dari penduduk desa yang sukses dari bertani, sebagian besar anak muda di desanya tidak ada yang berkeinginan menjadi pegawai, termasuk mencari pekerjaan ke kota besar.
"Anak muda di sini lebih memilih menjadi petani ketimbang menjadi pegawai," ujar Fachrudin.
Adalah tanaman cabai yang telah meningkatkan kesejahteraan penduduk desa tersebut.
Tak heran, sebagian besar lahan pertanian dan kebun masyarakat di Desa Suniabaru, ditanami tanaman cabai. Seluruh produksi cabai dari daerah inilah yang selama ini memasok kebutuhan warga Jakarta dan sekitarnya.
Fachrudin adalah satu dari puluhan petani cabai di Desa Saniabaru. Tahun lalu, pria berusia 54 tahun itu berhasil meraih penghargaan sebagai petani terbaik ditingkat provinsi dan kabupaten karena
keuletannya mengembangkan tanaman cabai. Kini Fachrudin menjadi panutan petani di daerahnya.
"Kunci keberhasilan menjadi petani cabai haruslah memahami perilaku cabai. Mulai dari waktu memberikan makan (pupuk), minum, serta penanganan dalam menghadapi penyakit," ujarnya.
Berkat kerja keras, mau belajar memahami karakter tanaman cabai, serta menggunakan benih hibrida yang berkualitas, Fachrudin mampu membuat tanaman cabainya menghasilkan tiga ton cabai segar dalam satu kali panen.
Padahal, tanaman cabai yang ditanamnya mampu 24 kali panen dalam tiga bulan. Tatkala harga cabai di tingkat petani dihargai Rp20.000 per kilogram, maka Fachrudin bisa mengantongi setidaknya Rp60 juta untuk satu kali panen.
Sebagai perbandingan, umumnya, petani cabai yang menanam benih cabai non hibrida, hanya mampu memanen kurang dari satu ton cabai dalam sekali panen.
Bahkan, kendati harga cabai saat ini sangat berfluktuasi, hal itu tidak merisaukan Fachrudin.
Pria yang pendidikan formalnya hanya sampai setingkat sekolah dasar itu menggandeng puluhan petani yang tergabung dalam kelompok tani Karya Nyata.
Bersama-sama, Fachrudin membeli mesin giling dan mesin kemasan plastik untuk membuat cabai kering giling.
"Kalau harga cabai kurang bagus maka kami jual dalam bentuk cabai kering giling dalam kemasan plastik hampa udara. Sehingga, cabai bisa bertahan lama dan harga jualnya tidak jatuh," ujar dia.
Menurut dia untuk kemasan cabai kering giling 400 gram yang diproduksinya, berasal dari satu kilogram cabai segar yang prosesnya mulai dari pengeringan, penggilingan menjadi bubuk, dan pengemasan.
Tidak Betah
Fachrudin merasa keberhasilannya mengembangkan tanaman cabai saat ini salah satunya berkat didikan dan gemblengan orang tuanya sejak kecil.
Merasa jenuh ikut orang tua bercocok tanam, Fachrudin memutuskan untuk berganti profesi dengan berdagang di Kota Bandung pada 1983.
Namun, jerih payahnya menjadi pedagang kurang memberikan pendapatan yang optimal. Akhirnya, pada tahun 1997, dia memutuskan kembali ke Majalengka.
Berbekal uang yang didapat dari hasil berdagang, Fachrudin membeli sepetak lahan pertanian di Suniabaru sebagai awal hidupnya bertani.
Rupanya darah petani yang mengalir pada dirinya membuat keputusannya kembali ke desa tak sia-sia. Rupiah demi rupiah berhasil dikumpulkan sehingga lahan yang semula hanya 2.000 meter persegi kini sudah bertambah menjadi satu hektar (10.000 meter persegi).
Fachrudin mengaku, keberhasilan menjadi petani dikarenakan dirinya banyak belajar dan mengikuti perkembangan teknologi, serta rajin mengikuti berbagai pelatihan tentang pertanian.
Titik awal kesuksesannya menjadi petani cabai dimulai ketika ia mengikuti pelatihan yang digelar perusahaan benih PT East West Seeds Indonesia (Ewindo) pada 2001.
Berkat pembinaan perusahaan tersebut, ia yang semula menggunakan benih biasa (non hibrida) telah menukarnya dengan benih hibrida yang hasilnya jauh lebih banyak.
Dia juga banyak belajar dengan petugas penyuluh lapangan Ewindo yang dikombinasikan dengan pengalamannya sebagai petani.
Fachrudin mengatakan, apabila menggunakan benih non hibrida, tanaman cabai hanya menghasilkan empat ton per hektar, tetapi dengan menggunakan benih hibrida, produksinya bisa mencapai 12 ton untuk lahan satu hektar.
Keberhasilan ini lah yang ditularkan kepada kelompok tani yang dipimpinnya, sehingga apabila pada 2002 yang menggunakan benih hibrida baru 60 hektar, pada tahun 2011 sudah mencapai 110 hektar.
Fachrudin mengatakan, tidak semua petani di Desa Suniabaru menanami lahannya dengan cabai. Beberapa mengembangkan terong, jagung, kol, dan sayuran lainnya.
Bahkan Fachrudin mengakui lahan yang dimilikinya tidak semata ditanami cabai.
"Harus diselingi dengan tanaman lain, tujuannya menghindarkan dari penyakit, kalau kita tanami dengan tanaman yang sama sangat rentan terhadap penyakit," ujar Fachrudin.
Bahkan berkat saling bertukar ilmu dengan petugas penyuluh lapangan Ewindo pihaknya kini juga menggunakan mulsa (lembar plastik) agar tidak perlu menyiangi rumput liar, mengurangi hama, serta yang terpenting lebih efektif dalam menggunakan pupuk.
"Untuk lahan seluas satu hektar butuh 13 gulungan yang harganya Rp700.000 berikut biaya pemasangan," ujar dia.
Keberhasilan Fachrudin membina kelompoknya juga mendorong Bank Dunia untuk memberikan dana hibah yang dipergunakan untuk memberikan pelatihan kepada petani.
"Dana hibah itu terus ditingkatkan kalau semula hanya Rp17 juta pada 2008, maka kini sudah mencapai Rp44,9 juta. Dana itu kami gunakan untuk mengundang penyuluh pertanian untuk memberikan pelatihan sehingga kami dapat mengoptimalkan produksinya," ujar dia.
Tak berhenti pada dirinya, Fachrudin berkeinginan Asep anak semata wayangnya bisa melanjutkan usahanya.
Karena itu dia menyekolahkan anak kesayangannya ke Jepang untuk belajar pertanian saat itu masih setingkat SMA dan kini di perguruan tinggi dengan tetap mengambil jurusan pertanian.
"Saya berharap Asep setelah lulus kuliah dapat menerapkan ilmunya di sini. Saya lebih senang dia bekerja di sini bergabung dengan saya dari pada menjadi pegawai," ujar Facrudin.
(G001)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

1 comment:

  1. hmmm.. yuk mas,,, kita alih profesi jadi petani... tapi sebelum punya modal tuk beli lahan,, kita tetap mesti bersyukur dengan pekerjaan kita sekarang dan menikmati perjalanannya....

    ---
    nb. gara2 kelamaan jadi fasilitator di desa,, aku malah dah lama kepikiran mau tinggal di desa n bertani saja,, kayaknya nyamaan,,, hanya kadang di desa fasilitas signalnya masih kurang,, karena itu,, mumpung sekarang diberi kesempatan jadi fasilitator,, ya semoga saja sebelum aku tinggal beneran di desa semua fasilitas termasuk signal sudah merata...wkwkwkwk (ngayal-tingkat-tinggi)

    ReplyDelete