Wednesday, February 15, 2012

Begadang

Kata om Roma Irama, begadang emang boleh-boleh saja, asal ada perlunya...

Kadang kala, aku juga begadang. Dari yang jarang-jarang itu, lebih seringnya spontan saja. Tanpa sebab, entah kerjaan atau ronda.

Apa yang dikerjakan?
Ketika SMA dulu sampai kuliah, begadangku lebih sering tepekur di meja belajar di kamar. Duduk di kursi dengan radio menyala lirih di depanku.

Siaran radio malam-malam, di Jogja, biasanya kalau nggak si penyiar cuap-cuap dengan backsound lagu slow sayup-sayup, ya deretan beberapa lagu sekaligus diputer terus.

Sebagian radio belakangan bikin acara interaktif, melempar tema bahasan buat ditanggapi pendengar.

Duluu... kita mesti menelpon ke radionya sih, lalu setelah HP jd barang yg umum, bisa via sms, lantas sekarang via FB atau akun Twitter radio itu.

Lantas, muter lagu request pendengar atau muter lagu yang pas dengan tema.
Aku dengerin aja, biasanya. Aku sendiri lebih banyak baca buku atau corat-coret di kertas. Sepertinya, suasana senyap memang pas dengan buku.

Namanya aja jaman SMA-kuliah, kira-kira tahun 93-95-2000an, tentu belum musim ketak-ketik komputer, lapy atau HP qwerty. Paling nggak, untuk aku saat itu. Mungkin ada sebagian kawan yang sudah menikmati keleluasaan teknologi PC. :)

Aku masih ingat beberapa buku yang menemani begadang dari tengah malam sampai menjelang jam tiga dini hari.

Antara lain Robinson Crusoe, Petualangan Hucklebery Finn (spellingnya mungkin salah), juga tentu saja kesukaanku beberapa hikayat cerita rakyat dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, sampai Papua.

Dari perpustakaan SMA, aku sempat menikmati novel-novel Indonesia dan Barat. Judulnya, wah lupa je karena lumayan banyak.

Ketika kuliah, buku yang aku baca dari beli di toko buku, dan pinjeman dari kawan. Saya mulai menyukai buku kumpulan cerita pendek, buku sastra seperti karya Pramoedya Ananta Toer, dan buku rilisan Romo Mangun.

Meski sama-sama suka, kalau dibandingkan, aku lebih sering menyimak kumpulan cerpen. Membacanya bisa terputus-putus karena satu cerpen berganti ke cerita lainnya daripada cerita novel yang bersambung.

Sebagian buah karya Kuntowijoyo dan Umar Kayam juga aku susuri. Untuk Pak Kunto, aku membaca berulang kali kumpulan cerpennya "Hampir Sebuah Subversi".

Sedangkan dari Pak Kayam, segera aku inget dengan kisah Marno dan Jane dalam "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan", yang kesepian di tengah hiruk pikuk kota besar.

Tentu saja, "Laskar Pelangi" dan "Sang Pemimpi" juga aku santap. Waktu itu aku sudah tinggal di Jakarta.

Hingga menikah, begadang masih jalan meski jauh berkurang. Dua buku terakhir yang aku baca larut malam "Giganto"-nya Koen Setyawan dan "Three Cup of Coffe"-nya Greg Mortenson.

Selain baca buku, tentu saja, aku mengisi malam dengan nulis blog hehehe. Persis malam ini :) Ditemani Kaka dan Bunda yang tertidur pulas... Zzz...zzz...zzz....
++
(Asofa, Rawa Belong, bilangan Palmerah, JakBar, 01.23)

No comments:

Post a Comment