Wednesday, December 11, 2013

Desa, Kampung Halaman dan Indonesia

Aceh
















JIKA menempuh perjalanan udara, favorit saya adalah kursi yang dekat jendela. Jika menggunakan Boeing atau Airbus yang jajaran kursi penumpangnya enam-enam, maka saya request kursi ..A di sisi kiri atau ..B untuk sisi kanan.

Melalui jendela, pandangan saya lempar jauh-jauh ke horison, mentari yang ranum atau matahari senja yang meredup.

Juga menatap kebawah, seolah mengukur sejengkal demi sejengkal apa saja di bawah sana.

Jika masih di atas daratan, ketika baru saja lepas landas, pemandangan masih sangat jelas. Detail alam bujur-bujur jalan, rumah, pucuk pepohonan, liuk sungai terpapar gamblang. Makin menanjak pesawat, terbentang lanskap daratan yang meluas-melebar.

Terutama di luar kota besar, saya suka sekali pemandangan usai take-off. Desa-desa dengan persawahan, kebun dan rumah-rumah penduduk yang berjarak renggang satu sama lain dengan rimbun pepohonan membuat mata saya nanar merayapinya.

Ya. Asri dan tampak teduhnya pedesaan membuat saya membayangkan tinggal di dalamnya. Masih dari balik jendela pesawat pula, saya seolah bisa menikmati kehangatan tegur-sapa dan kebersamaan antar penghuni rumah dengan rumah lainnya.

Kecipak air yang menggenangi persawahan di awal musim tanam juga seperti terasa di ujung kaki yang terbalut sepatu di bawah kursi pesawat. Juga, lambaian daun kelapa dan semburat sinar matahari siang yang harus menerobos rindangnya pohon mangga, durian, rambutan, kelengkeng, alpokat, sawo ....

Ah saya tidak mampu menderetkan nama-nama pohon lainnya. Rangkaian imajinasi itu terlalu menghanyutkan saya :)

Ujung Pulau Ambon
Lagu pujian
Nun melayang di atas awan, sungguh tak jarang saya bersenandung lirih, kadang pula melafalkan lirik lagu-lagu pujian bagi alam Tanah Air di bawah sana.

Di penerbangan pulang dari Aceh ke Jakarta seperti saat saya menuliskan tuturan ini, lagu berlirik "... Alam terhampar di bumiku ini, alangkah indah berseri ..." Di bawah sana, persawahan berselang-seling dengan rumah petani lantas perkebunan dan kaki-kaki bukit berhutan lebat.

Lain waktu, penggalan lagu "Desaku yang tercinta" terngiang di ubun-ubun ketika melayang di atas pesisir Gorontalo, lantas berganti himpunan rumah-rumah yang berkelompok sepanjang jalur penerbangan menuju Manado.

Tak sampai sebulan kemudian, tembang yang sama juga seperti mencairkan jendela Boeing 737-900 ER ketika menyisir daratan rimba berantara Pulau Buru yang kontras dengan desa-desa nelayan berpasir putih.

Meski jauh di ketinggian, mata saya masih bisa menangkap pelepah nyiur yang seperti bentangan jemari. Pun buih putih ombak yang membilas pantai.

Benak saya juga riang ketika pesawat tengah menanjak di udara Pontianak yang beberapa saat kemudian membentangkan paparan alam daerah muara sungai Kalimantan Barat.

Belitung
Begitu pula saat melintas di atas Pulau Belitung, desa-desa di Makassar, Kolaka, Lampung, Kuningan, Tuban, Magelang, Kulon Progo, Bantul....

Di atas sini, nikmat dari-Nya untuk Indonesia sungguh terasa. Juga nikmat waktu dan kesempatan bagi saya untuk menjadi manusia Indonesia yang dibesarkan di desa pinggiran Yogyakarta.

Di balik itu, benak saya membayangkan nikmatnya udara segar pedesaan. Teh manis, kudapan jajan pasar, canda di ruang tengah bersama keluarga, guyupnya para tetangga, semuanya adalah nama lain dari "kehangatan".

Kelak, saya pun ingin mewujudkannya. Beneran wis to, sumpah kepengen banget :) Amien!

@inung_gnb

+++

Rabu hari 11, bulan 12, tahun '13. Di antara langit petang, melayang di atas tanah Sumatra, penerbangan Aceh menuju Jakarta. 19.08 WIB :)

No comments:

Post a Comment