Wednesday, December 16, 2015

Just run.



Saya beruntung jatuh cinta pada lari di awal subuh musim kampanye Pemilu 1997. Lama buanget ya...  ‪#‎adayangbelumlahir‬? :P

Lalu, mulai berlari dengan jadwal yang lebih disiplin dan rutin sejak 2002. Ada keberuntungan, meski ada kemalangan membuntuti.

Beruntungnya: saya sungguh menikmati hirupan udara bersih Jogja pagi dan sore, sepanjang trek sekitar rumah Salakan, Sewon, Bantul...ring road selatan... selokan mataram dan GSP kampus UGM. Oya, soal dapet pacar lewat lari bareng, itu bener-bener kabar burung. Nggak gitu-gitu persis lah :)

Pengalaman pahit juga ada: ditabrak dari belakang oleh mbak-mbak pengendara motor bebek plat R di GSP. Penyebab dia menubruk saya hingga njlungup, meski jalur GSP lebar dan saat itu sepi, masih semisterius motif pembunuhan JFK :P

Saya ingat, "modal"lari saya saat awal-awal peplayon adalah wujud sebenar-benarnya dari idiom: lari adalah olahraga (ter)murah. Hanya butuh sepasang sepatu. Kanan dan kiri.

Sepatu lari pertama saya, Spotec. Saya tebus seharga Rp 23ribu di toko olahraga Prawirotaman, Jogja. 1996-1997.

Sepatu kedua adalah bekas milik temen saya, Joko. Tepatnya, saya pinjam untuk kuliah lantas nggak saya kembalikan ‪#‎eh‬

Apparel? Celana kolor adidas-adidasan yang sudah pasti super KW. Begitu juga dengan kaos: asalkan nyerap keringat, ayo lari. Beberapa potong saya beli dari awul-awul, itu lho toko baju bekas impor. Sepotong +- Rp 5-10 ribuan.

Jam tangan? Abaikan jam ber-GPS atau branded. Lagi-lagi pokoknya jam dengan jarum pendek dan panjang.

Berbelas tahun kemudian, saya terus berlari. Dasar pelari hepi-hepi, tren alat bantu lari melaju cepat tanpa saya tahu.

Ujug-ujug, seingat saya, 2010an hingga kini produsen apparel, sepatu, jam tangan pengukur jarak, pencatat detak jantung menggelar lapak nan menggoda.

Pakaian ori berbanderol ratusan ribu rupiah, tas pinggang, sepatu dengan foam sole canggih siap sedia menyulap saya menjadi (merasa) pelari kece wkwkwkkkk...

Beruntung, saya hanya tergoda membeli jam tangan Garmin FR 210. Itupun karena ada fitur interval yang membantu latihan lari.

Penting banget tuh jam? Porsi pentingnya sih kisaran 10 persen saja. Yang 90 persen ya komitmen dan disiplin.

Saya beruntung jatuh cinta pada lari hampir 18 tahun lalu. Saya hanya perlu sepatu dan melaju.

Ini tentang saya lho ya, rekan runner lain bisa jadi beda pengalaman dan punya pertimbangan sendiri... Seandainya saya mulai berlari di tahun-tahun ini, saya akui nggak bakal kuat dengan persuasi sepatu meheng warna-warni, apparel yang (kalau bisa kudu) ori merek internesyenel, gadget cakep pengukur data lari serta jam tangan berpandu satelit.

Ini tentang saya lho ya. Jika saya peplayon di jaman gini, kemungkinan besar saya akan browsing tips lari serajin berselancar ke lapak-lapak online penjual Garmin, Suunto, Nike sportwatch, compressor pants, botol air Nalgene, dan tas trail-running. Browsing tips lari, beli dan mengumpulkan apparel, lantas larinya entah kapan :P

Beruntung, gadget paling canggih saya masih si FR 210 yang talinya sudah patah dan disambung tali aftermarket yang saya ikat dengan karet gelang bekas nasi bungkus warteg #truesetori

Beruntung. Saya masih berlari tanpa mikirin gadget, karena finish keceh dan finish sssetrong bermula dari liatnya tekad memenangi godaan tarikan selimut di awal subuh.

‪#‎hooammm‬ ‪#‎markibo‬ marikitabobok ‪#‎besokpagiLARI‬! :)
 salam

Posted @ Facebook

No comments:

Post a Comment