Sunday, August 13, 2017

Wajah Segar: media massa, narasumber dan keterbaruan

Image source

Dua hari yang lalu, seorang kawan produser bertanya pada saya dan meminta informasi tentang nomer telepon narsumber. Televisi tempatnya bekerja ingin interview tentang analisis pasar modal.

Seminggu sebelumnya, teman lama saya yang kini menjadi editor di media online juga mengirim pesan Whatsapp serupa. Kantornya ingin menggelar diskusi tentang politik terkini.

Saya sodorin A, mereka bilang 'ada yang lain?' saya kasih B, mereka ogah.

"Wajah anyar! Layar gw butuh penyegaran. Kameramen gw sudah bosen. Reporter gw pengen dolan lebih jauh. Gw maunya wajah segar!"

Ya, saat ini media massa memang membutuhkan wajah-wajah segar para pengamat politik, ekonomi, sosial, budaya, religi, pendidikan, juga psikologi. Mereka ingin panelis/narasumber yang 'tidak itu-itu saja' :)

Wajah segar disini bukan berarti ganteng cakep, cantik lho ye. 'Wajah segar' itu kiasan untuk hadirnya narsum baru yang memberi pilihan alternatif bagi jurnalis :)

Jadi, sekarang saya mau merayu dan memprovokasi rekan-rekan akademisi, periset di lembaga penelitian dan praktisi apapun, please, jika menyukai berbagi ilmu dan gandrung menyumbang pandangan, saat-saat ini rekan-rekan saya produser dan redaktur serta reporter membutuhkan panjenengan. Mumpung masih 2017.



Lho kok menyebut tahun? Yaiyalah, 2018 sudah tahun politik, tahun hiruk pikuk dan berisik sampai 2019.

Jadi jika panjenengan belum terbiasa tampil di media, inilah saatnya buat 'latihan dan adaptasi'.

Maafkan diksi saya, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa diwawancara di media adalah perkara narsis dan ngeksis.

Saya bilang latihan dan adaptasi karena kita perlu memiliki skill berkomunikasi, artikulasi jelas, alur analisis yang sistematis dan pemetaan masalah serta opsi solusi yang nggenah. Yang mudah dimengerti. Pokoke gimana caranya supaya buruh harian kayak saya bisa manggut-manggut, begitu pula kawan-kawan profesor saya juga manthuk-manthuk :D

BAGAIMANA CARA BERBURU WAJAH BARU
Oiya, saya bocorin sedikit (salah satu) alur atau cara atau trik saya dan rekan-rekan jurnalis dulu berburu narasumber bidang politik yang "wajah segar" : Facebook.

2014 lampau saya keluyuran ke Facebook. Saya bosan dengan pengamat politik dari kampus di Depok, boring dengan narsum dari almamater saya sendiri di Jogja, juga sudah keseringan menelpon beberapa guru besar dari Surabaya.

Saat itu, saya mau penyegaran dan pengen mewawancara narsum dari Bandung, Medan dan Makassar. Dapat? Iyalah. Saya main ke akun FB, kenalan dan mencermati pola retorika, apapun isu yang mereka sodorkan di wall mereka. Selang beberapa pekan, saya dan reporter minta izin untuk wawancara. Kadang saya sendiri yang wawancara untuk ditulis di koran dan media online, juga dihubungi kru tv di grup media tempat saya bekerja.

Jadilah teman sekaligus narsum. Beberapa juga saya provokatori untuk menulis opini di media cetak yang jangkauannya lebih menasional :). Maafkan diksi saya yang acak adut. Dan syukurlah, beberapa di antaranya juga semakin bertambah jam terbangnya. Dari semula diwawancara koran dan dicegat wartawan radio, belakangan kemudian wira-wiri ke studio televisi nasional. Live interview :)

Cara lain ialah dengan ngubek-ubek kolom atau halaman opini di koran atau media daring. Catat nama-nama penulis opini.  Kemudian 'verifikasi' di halaman linkedin, website lembaga juga akun medsos. Ujung-ujungnya ya kirim pesan di Messenger dan kenalan di Facebook. Lanjut ke Whatsapp dan telpon. Thanks to Mark Zuckerberg, terimakasih Telkomsel dan Smartfren :D

RUNTUT, ELEGAN, JANGAN NYINYIR
Satu tips dari saya: jika Anda termasuk sosok yang suka berbagi ilmu dan analisis, saran saya adalah mulailah memperhatikan alur retorika yang runtut, sistematis.

Ada cara sederhana untuk menyampaikan gagasan dengan lebih runtut terutama ketika diwawancara secara lisan, via telepon atau di televisi: sampaikan dengan pointer. Poin demi poin. Bagi dan pilah. Jangan nggrambyang. Karena media dibaca, didengar dan ditonton bukan hanya oleh rekan sesama dosen sampeyan :)

Juga, pada dasarnya pengampu rubrik media manapun cenderung enggan dengan profil pengamat yang kurang memperhatikan etiket berkomunikasi. Gini, apapun selera dan positioning redaksi, kami cenderung 'hati-hati dan waspada' dengan narsum yang gaya komunikasi baik di medsos maupun lisannya tidak elegan.

Lebih jelasnya, sampeyan boleh dan bahkan kami apresiasi jika kritis. Tetapi, jangan NYINYIR.

Maaf ini bukan membahas soal ranah pribadi dan gaya sampeyan. Hitungan media jelas, layar televisi dan koran ditonton serta dibaca semua pihak. Yang pro nonton, yang anti juga baca. Dan nyinyir hanya menjauhkan substansi dari suatu tema perbincangan. Jadilah kritis dan sampaikan secara elegan!

###

Ah sudah malam. Itu dulu 'hasutan' saya kali ini. Esok hari mungkin bisa disambung.

Salam dari saya yang bukan lagi  jurnalis, bukan pula kolomnis, bukan lagi redaktur dan bukan lagi produser. Sekadar pembisik sajalah :D

No comments:

Post a Comment